Hari itu, Minggu, 26 Desember 2004. Hari yang dirasakan masyarakat Aceh bagai hari kiamat. Bumi Serambi Makkah diguncang gempa dahsyat berkekuatan 8.9 SR. Rumah dan bangunan lain yang berdiri tegak dna megah berguncang-guncang, bahkan runtuh menghujam tanah. Orang-orang yang berada di dalam rumah atau bangunan kaget dan melompat berhamburan keluar, menghindari dari kemungkinan runtuhnya bangunan. Hari itu, kedua kaki yang digunakan untuk berdiri, kala kerasnya guncangan gempa itu, orang-orang hanya bisa duduk tengkurap di tanah, tidak bisa berdiri. Sementara sejumlah bangunan rubuh.
Semua orang, besar - kecil, tua - muda, merasa sangat kaget dan penuh ketakutan. Betapa tidak, peristiwa gempa sebesar itu, belum pernah terjadi di Aceh, walau Aceh sering dihujam gempa. Namun, hari itu, saat gempa mengguncang, tidak ada satu manusia pun yang mungkin berani berdiri dan tidak ketakutan. Semua orang, mengingat dan menyebutkan Tuhan. Tidak cukup dalam hati, tetapi melafalkannya dengan suara-suara yang keras, meminta pertolongan kepada Tuhan, agar dihentikan gempa tersebut. Tuhan adalah sentral sebuah permohonan dan doa. Lalu, Tuhan menghentikan gempa tersebut, namun akibat dari gempa yang begitu dahsyat itu beberapa menit kemudian, bencana tsunami yang memilukan menghantam daratan di pantai barat dan timur Aceh. Peristiwa yang ditandai dengan surutnya air laut dan kering, laluombak besar datang bergulung dengan ketinggan melebihi 10 meter kembali menghantam daratan menggulung dan meluluhlantakan serta menyapu semua yang ada di daratan itu, tanah, bangunan dan bahkan manusia. Semuanya binasa, hanya dalam hitungan menit menewaskan ratusan ribu nyawa. Tidak ada satu angka pasti. Namun menurut Departemen Sosial RI (11/1/2005) adalah 105.262 orang. Sedangkan menurut kantor berita Reuters, jumlah korban Tsunami diperkirakan sebanyak 168.183 jiwa dengan korban paling banyak diderita Indonesia, 115.229 (per Minggu 16/1/2005). Sedangkan total luka-luka sebanyak 124.057 orang, diperkirakan 100.000 diantaranya dialami rakyat Aceh dan Sumatera Utara.
Ketika tragedi yang maha dahsyat itu meluluhlantakan Aceh, tragedy itu paling tidak, bisa dikatakan sebagai sebuah revolusi yang bisa membinasakan Aceh dalam waktu cepat dan massal serta merubah wajah Aceh dalam sekejab. Bahkan ada yang menganggap hari itu adalah hari kiamat, karena apa yang terjadi saat itu, benar-benar telah menghilangkan harapan masyarakat melihat masa depan. Buktinya, sebuah ungkapan Good bye Aceh, 26 Desember 2004 dengan tulisan berwarna merah yang ditulis pada sebuah dinding toko di jalan Teuku Nyak Arief, Jeulingke, Banda Aceh. Tulisan itu seakan memberi isyarat bahwa Aceh sudah tamat, atau sebagai ungkapan selamat tinggal dari para korban bencana gempa dan tsunami yang sangat memilukan dan tak terlupakan itu. Pilu dan luka, bukan hanya dirasakan oleh para korban, akan tetapi telah membangkitkan naluri solidaritas lintas suku, agama, ras dan wilayah. Karena ketika bencana itu telah menggerakan hati nurani setiap orang dari seluruh dunia. Mereka bukan hanya mengirimkan bantuan material, tetapi datang membantu meringankan beban para korban dan juga Negara ini. Mereka sejak dari masa darurat, sudah berduyun-duyun datang membantu. Mungkin bantuan semacam ini belum pernah ada untuk di wilayah bencana lainnya. Sungguh sangat luar biasa. Inilah yang dijanjikan Tuhan bahwa di balik bencana itu pasti ada hikmahnya. Tergantung kita, mau atau tidak menarik hikmah dari setiap bencana yang terhadi. Kita patut berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan bersyukur kepada Tuhan atas kebesaranNya.
Bencana tsunami Aceh yang penuh luka, penderitaan bagi yang ditinggalkan oleh orang-orang tercinta, merupakan bencana yang membuat banyak orang bangkit kepada sebuah kesadaran akan kekuatan sang pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi dalam peristiwa yang mengenaskan itu, tidak sedikit kejadian-kejadian yang di luar batas kemampuan manusia. Muncul berbagai keajaiban yang sangat menakjubkan dan dan tak terjangkau oleh pikiran manusia, walau ada yang menganggap itu suatu hal yang kebetulan saja dan sebagainya. Namun, paling tidak bencana itu banyak yang mengembalikan keasadaran orang akan Tuhan. Tidak sedikit orang dengan sadar menyerahkan bahwa bencana ini adalah atas kehendak Tuhan. Ada yang mengatakan bahwa bencana dahsyat itu sebagai hukuman Tuhan, karena ulah manusia yang semakin jauh dari naluri ketauhidan. Maka, saat itu pula, secara factual kesadaran beragama ( iman dan taqwa) menjadi semakin kelihatan meningkat. Buktinya, rumah-rumah ibadah yang ada, setiap hari penuh dan disesaki orang yang melaksanakan beribadah dan berdoa, memohon ampun dan sebagainya. Orang-orang semakin takut melakukan hal-hal yang dilarang Tuhan.
Semua orang, besar - kecil, tua - muda, merasa sangat kaget dan penuh ketakutan. Betapa tidak, peristiwa gempa sebesar itu, belum pernah terjadi di Aceh, walau Aceh sering dihujam gempa. Namun, hari itu, saat gempa mengguncang, tidak ada satu manusia pun yang mungkin berani berdiri dan tidak ketakutan. Semua orang, mengingat dan menyebutkan Tuhan. Tidak cukup dalam hati, tetapi melafalkannya dengan suara-suara yang keras, meminta pertolongan kepada Tuhan, agar dihentikan gempa tersebut. Tuhan adalah sentral sebuah permohonan dan doa. Lalu, Tuhan menghentikan gempa tersebut, namun akibat dari gempa yang begitu dahsyat itu beberapa menit kemudian, bencana tsunami yang memilukan menghantam daratan di pantai barat dan timur Aceh. Peristiwa yang ditandai dengan surutnya air laut dan kering, laluombak besar datang bergulung dengan ketinggan melebihi 10 meter kembali menghantam daratan menggulung dan meluluhlantakan serta menyapu semua yang ada di daratan itu, tanah, bangunan dan bahkan manusia. Semuanya binasa, hanya dalam hitungan menit menewaskan ratusan ribu nyawa. Tidak ada satu angka pasti. Namun menurut Departemen Sosial RI (11/1/2005) adalah 105.262 orang. Sedangkan menurut kantor berita Reuters, jumlah korban Tsunami diperkirakan sebanyak 168.183 jiwa dengan korban paling banyak diderita Indonesia, 115.229 (per Minggu 16/1/2005). Sedangkan total luka-luka sebanyak 124.057 orang, diperkirakan 100.000 diantaranya dialami rakyat Aceh dan Sumatera Utara.
Ketika tragedi yang maha dahsyat itu meluluhlantakan Aceh, tragedy itu paling tidak, bisa dikatakan sebagai sebuah revolusi yang bisa membinasakan Aceh dalam waktu cepat dan massal serta merubah wajah Aceh dalam sekejab. Bahkan ada yang menganggap hari itu adalah hari kiamat, karena apa yang terjadi saat itu, benar-benar telah menghilangkan harapan masyarakat melihat masa depan. Buktinya, sebuah ungkapan Good bye Aceh, 26 Desember 2004 dengan tulisan berwarna merah yang ditulis pada sebuah dinding toko di jalan Teuku Nyak Arief, Jeulingke, Banda Aceh. Tulisan itu seakan memberi isyarat bahwa Aceh sudah tamat, atau sebagai ungkapan selamat tinggal dari para korban bencana gempa dan tsunami yang sangat memilukan dan tak terlupakan itu. Pilu dan luka, bukan hanya dirasakan oleh para korban, akan tetapi telah membangkitkan naluri solidaritas lintas suku, agama, ras dan wilayah. Karena ketika bencana itu telah menggerakan hati nurani setiap orang dari seluruh dunia. Mereka bukan hanya mengirimkan bantuan material, tetapi datang membantu meringankan beban para korban dan juga Negara ini. Mereka sejak dari masa darurat, sudah berduyun-duyun datang membantu. Mungkin bantuan semacam ini belum pernah ada untuk di wilayah bencana lainnya. Sungguh sangat luar biasa. Inilah yang dijanjikan Tuhan bahwa di balik bencana itu pasti ada hikmahnya. Tergantung kita, mau atau tidak menarik hikmah dari setiap bencana yang terhadi. Kita patut berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan bersyukur kepada Tuhan atas kebesaranNya.
Bencana tsunami Aceh yang penuh luka, penderitaan bagi yang ditinggalkan oleh orang-orang tercinta, merupakan bencana yang membuat banyak orang bangkit kepada sebuah kesadaran akan kekuatan sang pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi dalam peristiwa yang mengenaskan itu, tidak sedikit kejadian-kejadian yang di luar batas kemampuan manusia. Muncul berbagai keajaiban yang sangat menakjubkan dan dan tak terjangkau oleh pikiran manusia, walau ada yang menganggap itu suatu hal yang kebetulan saja dan sebagainya. Namun, paling tidak bencana itu banyak yang mengembalikan keasadaran orang akan Tuhan. Tidak sedikit orang dengan sadar menyerahkan bahwa bencana ini adalah atas kehendak Tuhan. Ada yang mengatakan bahwa bencana dahsyat itu sebagai hukuman Tuhan, karena ulah manusia yang semakin jauh dari naluri ketauhidan. Maka, saat itu pula, secara factual kesadaran beragama ( iman dan taqwa) menjadi semakin kelihatan meningkat. Buktinya, rumah-rumah ibadah yang ada, setiap hari penuh dan disesaki orang yang melaksanakan beribadah dan berdoa, memohon ampun dan sebagainya. Orang-orang semakin takut melakukan hal-hal yang dilarang Tuhan.
Namun, di balik hikmah yang positif itu, disadari atau tidak, disengaja atau tidak, gelombang perubahan yang sangat dahsyat juga menghujam Aceh. Perubahan yang sangat deras itu mendobrak sendi-sendi norma dan nilai-nilai moralitas masyarakat Aceh sendiri yang terpancar pada bentuk perilaku sebagian masyarakat Aceh pasca bencana tsunami tersebut. Betapa ironis, ketika melihat orang-orang kaya Aceh yang punya rumah besar pada masa awal pasca tsunami itu memanfaatkan kesempatan. Bayangkan saja, di saat orang-orang luar datang membantu masyarakat korban tsunami, mereka ( para orang kaya) memanfaatkan kedatangan mereka dengan cara menaikan sewa rumah semahal-mahalnya. Sehingga bantuan yang seharusnya bisa diterima lebih besar oleh korban, habis terserap untuk membayar sewa rumah. Ini juga yang menyebabkan angka inflasi menjadi tinggi. Dalam kondisi seperti ini, mendorong yang kaya, semakin kaya, tanpa peduli dampak bagi orang miskin dan korban yang tidak sanggup menyewa rumah.
Bukan hanya itu, perilaku buruk kita kian tampak dalam banyak hal. Kebanyakan dari kita memperlihatkan sifat serakah, ingin memperoleh lebih banyak bantuan, misalnya ketika ada yang memberikan bantuan rumah, ada orang yang berupaya mendapatkan bantuan rumah ganda. Yang bukan korban tsunami bahkan mengaku korban. Sementara yang benar-benar korban tidak mendapatkan bantuan rumah. Sikap dan perilaku korup dan suka menipu, yang seharusnya hilang, malahan menguat dengan banyaknya proyek pasca bencana itu.
Masjid dan rumah ibadah yang dulu penuh saat awal masa tsunami, kini kalah bersaing dengan pengunjung warung kopi. Warung kopi lebih menarik dan lebih disukai oleh berbagai kalangan tua dan muda. Apalagi setelah kota Banda Aceh menjadi kota sejuta warung kopi, keramaian di warung-warung kopi semakin terlihat dan bahkan panggilan azan pun sudah tidak terlalu diharaukan. Orang-orang lebih suka menghabiskan waktunya di warung-warung kopi. Ini juga sebuah perubahan social yang melanda Banda Aceh dan juga kota-kota kecil lainnya di Aceh.
Selain itu, sebagai daerah yang sangat terbuka pasca tsunami, masyarakat Aceh juga terus digerus oleh pengaruh globalisasi yang ikut memperlemah nilai-nilai adat dan tradisi sosial budaya masyarakat Aceh yang dahulu kental dan berpegang erat pada nilai nilai moral, menjadi mencair menerima perubahan. Buahnya, Aceh yang dikenal tidak ada kasus HIV/AIDS, kemudian berjangkit begitu hebat. Metronews.com, tanggal 12 Desember 2011 menyebutkan bahwa "Penyebaran virus HIV/AIDS sejak 2004 hingga saat ini semakin mengkhawatirkan. Penyakit berbahaya itu menyerang segala usia dan tidak memandang kelas sosial masyarakat, makanya kita harus waspada," Berdasarkan data Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Aceh, hingga akhir November 2011 jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 102 orang. Jumlah itu tersebar di 21 dari 23 Kabupaten/Kota. Dari 102 orang tersebut, 80 diantaranya masih menjalani perawatan dan 22 orang telah meninggal dunia. Kondisi semacam ini yang bakal menggalaukan adalah fenomena kehidupan remaja dengan gaya pacaran yang semakin terbuka ditambah semakin berkembangnya sikap apatis dan permisif di masyarakat kita. Mereka tidak merasa takut akan apa yang pernah disebut dengan kemurkaan Tuhan yang bisa jadi mendatangkan bencana serupa. Buktinya, arena pacaran di pantai seperti Uleleu, dan bahkan di café-café juga terlihat kian menjadi hal biasa, walau pada beberapa baliho, Para masyarakat mengingatkan para orang muda untuk tidak membudayakan pacaran, ternyata anak-anak setinglat SMP saja ketika berkenderaan saling berpelukan saat berkenderaan, bagaikan sepasang suami istri.
Kiranya, kini perubahan perilaku masyarakat kita pasca bencana tsunami yang cendrung kita abaikan, akan terus berubah sejalan dengan semakin melemahnya kontrol social masyarakat kita. Hilangnya sinergi antara keluarga, sekolah dan masyarakat, dalam membina moralitas anak, akan memperburuk wajah masyarakat Aceh . Tentu saja perubahan-perubahan perilaku masyarakat kita yang terus akan terjadi, tidak akan memperburuk wajah Aceh ke gerbang demoralisasi. Sebab apabila proses demoralisasi tidak terus dibendung sejak dini, dikhawatirkan ini sering mengantarkan masyarakat Aceh terbawa arus tsunami moral. Mari kita bendung datangnya tsunami moral dengan saling menjaga diantara kita.
No comments:
Post a Comment